Anak Jalanan Juga Ingin Sekolah

Anak Jalanan Juga Ingin Sekolah

Anak Jalanan Juga Ingin Sekolah – Di lampu merah yang padat oleh kendaraan, sering kita lihat sosok-sosok kecil menawarkan tisu, menyanyi di atas aspal panas, atau sekadar mengemis beberapa receh.

Mereka adalah anak jalanan—wajah nyata dari ketimpangan sosial yang selama ini berada di pinggir pandang kita. Tapi di balik keringat dan debu kota, tersimpan keinginan yang sama seperti anak-anak lainnya: mereka juga ingin sekolah.

Bukan Pilihan, Tapi Keadaan

Tidak ada anak yang bercita-cita menjadi pengamen atau pemulung. Mayoritas anak jalanan terjebak dalam kondisi ini bukan karena pilihan, melainkan karena keterpaksaan. Kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kehilangan orang tua menjadi alasan utama mengapa mereka turun ke jalan.

Sekolah menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan, baik karena faktor ekonomi, administratif, maupun mental. Tidak sedikit dari mereka yang sudah “ditolak” oleh sistem pendidikan sejak dini—tidak memiliki akta lahir, seragam, atau biaya transportasi. Padahal, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, tanpa terkecuali.

Mereka Punya Mimpi

Mungkin kita pernah mendengar seorang anak jalanan berkata, “Aku mau jadi guru”, atau “Aku pengen sekolah kayak temen-temen yang pake seragam itu.” Kalimat sederhana itu mengandung kerinduan mendalam terhadap dunia yang bagi mereka terasa asing: dunia sekolah.

Banyak anak jalanan memiliki keinginan kuat untuk belajar. Mereka ingin tahu huruf, bisa membaca, menghitung, dan bercita-cita menjadi dokter, guru, polisi, bahkan insinyur. Mereka tidak kalah cerdas, tidak kurang semangat—yang mereka butuhkan adalah kesempatan dan akses.

Sekolah Tak Selalu Ramah

Ironisnya, ketika ada anak jalanan yang ingin sekolah, sistem belum sepenuhnya terbuka. Banyak dari mereka mengalami diskriminasi, baik dari teman sebaya maupun lingkungan sekolah. Ada stigma bahwa anak jalanan “nakal”, “tidak bisa diatur”, atau “membawa masalah”.

Padahal, mereka butuh pendekatan yang berbeda. Bukan karena mereka bandel, tapi karena hidup telah memaksa mereka dewasa terlalu cepat. Mereka terbiasa bertahan, berjuang, dan menekan perasaan—sebuah latar belakang yang menuntut empati lebih dari para pendidik.

Peran Komunitas dan Pemerintah

Beberapa komunitas telah bergerak memberi harapan. Di bawah kolong jembatan, di halte tua, atau ruang-ruang komunitas kecil, berdiri sekolah jalanan. Di sana, relawan-relawan mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Tak jarang, kegiatan belajar dilakukan dengan alat seadanya dan tenaga sukarela dari situs berita https://twobrothersonegrill.com/.

Namun, kerja komunitas tidak bisa berdiri sendiri. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus membuka pintu lebih lebar. Program afirmatif bagi anak jalanan, seperti pembebasan biaya, bantuan seragam, layanan konseling, hingga pendampingan khusus, harus lebih digalakkan.

Kurikulum juga perlu lebih fleksibel dan inklusif. Anak jalanan tidak bisa dipaksa belajar dalam sistem yang kaku. Mereka butuh ruang yang memahami latar belakang mereka, tanpa menghakimi.

Masa Depan Bisa Berubah dengan Pendidikan

Anak jalanan bukan beban, tapi potensi yang belum tergali. Ketika diberi akses pendidikan, banyak dari mereka menunjukkan perkembangan luar biasa. Beberapa di antaranya berhasil masuk sekolah formal, bahkan melanjutkan ke perguruan tinggi dan bekerja sebagai guru, aktivis, hingga pekerja sosial.

Pendidikan bukan hanya soal membaca buku, tapi membentuk masa depan. Jika anak-anak jalanan diberi kesempatan untuk belajar, maka mereka juga akan punya pilihan untuk menjalani hidup yang lebih baik—bukan lagi sebagai korban keadaan, tapi sebagai pemilik masa depan.


Penutup: Jangan Tutup Mata, Buka Pintu

Di balik setiap anak jalanan ada potensi yang belum tumbuh, ada impian yang belum sempat mekar. Kita, sebagai masyarakat, pemerintah, dan insan pendidikan, punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa pendidikan adalah hak, bukan privilese.

Karena sesungguhnya, anak jalanan juga ingin sekolah. Dan ketika mereka diberi kesempatan, mereka tak hanya belajar membaca dan menulis, tapi juga belajar bermimpi. Dan mungkin, dari situlah perubahan besar dimulai—dari mimpi kecil di bawah lampu merah, menuju masa depan yang lebih terang.

Exit mobile version